Siapa pun bisa menghadapi kematian, termasuk anak kecil. Mungkin Tuhan memanggil kakek-neneknya atau orangtuanya. Apa yang bisa kita katakan kepada mereka dalam suasana duka ini? Bagaimana me-nyiapkan anak-anak menghadapi kematian di sekitar mereka?
Josephus berusia tiga tahun dua bulan ketika Tuhan memanggil pulang neneknya karena penyakit kanker. Itu hari yang tidak mungkin saya lupakan. Saya dan Josephus datang pagi-pagi ke rumah sakit tempat ibu saya dirawat. Begitu masuk, Josephus berlari ke kamar neneknya. Dia ingin memamerkan mobil-mobilannya yang baru dan bermaksud membagi donat kesukaannya.
ANAK MENYAKSIKAN
Jo menghampiri neneknya, meletakkan mainannya di telapak tangan ibu saya. Tapi neneknya tidak menyambutnya. “Ma, nenek mengapa?” tanyanya pada saya. Saya memperhatikan ibu saya. Ibu terbaring gelisah. Saya segera memanggil suster. Suster rumah sakit menyampaikan munculnya beberapa tanda akhir sejak tadi malam. ”Kumpulkan saja semua keluarga, Mbak,” kata suster pada saya, ”nampaknya kita harus merelakan kepergian Ibu.” Saya berdiri di kaki tempat tidur mama.
Saya berusaha tidak menangis, khawatir Josephus ketakutan. Tapi tidak bisa. Air mata saya bercucuran. Jo memeluk kaki saya. Kemudian saya menggendongnya dan menangis bersama dia. Mainan dan donatnya teronggok begitu saja di kaki tempat neneknya berbaring.Josephus melihat prosesi dari rumah duka sampai pemakaman. Dia mengikuti ibadah tutup peti, menyaksikan saat peti ditutup, dimasukkan ke liang lahat, diurug dengan tanah, dan ditaburi bunga. Dia melihat kesedihan kami sekeluarga.
Setahun kemudian setelah anak kedua kami lahir, saat saya sedang bersisir, saya kaget menemukan sehelai rambut putih di kepala saya. Saya tidak percaya, sudah tuakah saya? Maka saya meminta Josephus meyakinkan saya bahwa saya memang mulai beruban. “Joseph, sini dulu deh. Lihatin dong ini rambut putih atau bukan?”
Josephus segera meninggalkan mainannya untuk memenuhi per-mintaan saya. Dia naik ke tempat tidur supaya bisa melihat uban di kepala saya. Ia memperhatikan helai rambut putih itu baik-baik. “Bagaimana, Jo?” tanya saya tidak sabar. “Itu rambut putih, ya?” “Iya, putih Ma ....! ”Waduh! Mama sudah tua, nih. Sudah mulai ubanan,” kata saya. Josephus memandang saya dengan cermat. ”Ma, mama sudah tua, ya,” ujar Josephus akhirnya. Dia ikut duduk di tempat tidur.
“Yah, kelihatannya begitu. Mengapa?” jawab saya.“Kalau Mama sudah tua, apakah nanti Mama akan meninggal seperti nenek?” “Setelah tua seperti nenek, ya pasti, dong. Semua orang kan akan meninggal,” jawab saya ringan, tanpa memperhatikan arah pembicaraannya. Josephus terdiam sebentar.“Ma,” dia memegang tangan saya, “Mama jangan meninggal sekarang, ya. Joseph dan adik ‘kan masih kecil. Siapa yang menjaga kami kalau Mama tidak ada?”Saya tertegun. Saya tidak menduga jika kepergian neneknya masih membekas di ingatan Josephus.
YANG BISA DILAKUKAN
Bagaimana menyiapkan anak-anak menghadapi kematian di sekitar mereka?Pertama, kita perlu membangun empati anak melalui perkunjungan ke rumah duka salah satu kerabat kita yang dia kenal. Saat melayat itu kita bisa ajak dia ngobrol. Beberapa hal yang bisa kita tekankan dalam obrolan kita adalah: keluarga yang dikunjungi sedang berdukacita karena Tuhan memanggil salah seorang anggotanya. Secara fisik mereka tidak mungkin bertemu lagi dengan keluarganya yang sudah meninggal. Kadang-kadang tidak mudah bagi yang berduka menghadapi peristiwa ini. Mungkin mereka akan kesulitan dalam hal keuangan, merasa kesepian dan rindu.
Kedua, siapkan anak-anak agar bersikap pantas di rumah duka. Biasanya di pintu masuk ada peti. Anak-anak bisa dilibatkan untuk memasukkan uang duka di peti tersebut. Ajarkan mereka bahwa sikap memberi adalah bagian dari tolong menolong. Beri tahu anak-anak untuk menyalami keluarga yang berduka. Jika kita adalah bagian dari keluarga yang sedang berduka, jelaskan kepada anak siapa yang meninggal.
Ketiga, arti kematian dapat kita sampaikan kepada anak lewat cerita. Berikut ini adalah contohnya.
Grace sudah tidak sabar. Dia mondar-mandir dengan gelisah. Seben-tar-sebentar matanya melihat ke pintu. Tante Tini belum juga datang. Aduh, lama sekali! Tiba-tiba didengarnya bunyi mobil diparkir. “Grace! Sudah siap?” terdengar suara Indah berteriak dari pagar. Grace sudah lebih dari siap. Dia berlari sebentar ke kamar tidur. Ibunya sedang berbaring sakit, sedang hamil tua menantikan saat melahirkan. Tadi ayahnya meminta dokter dari puskesmas datang untuk menyembuhkan ibunya. Tapi dokter belum datang dan ibu belum sembuh juga. Akhirnya malam ini dia harus merayakan Natal di gereja bersama tante Tini dan Indah. Sebetulnya dia tidak suka. Tapi, apa boleh buat. Ayahnya tidak bisa mengantarnya. Tentu saja, ayah harus menemani ibu.
”Bu,” katanya membangunkan ibunya, ”aku pergi dulu. Ibu cepat sembuh, ya.”Ibunya memegang tangannya dan mengangguk, ”Hati-hati, Grace,” bisiknya lemah. ”Kamu lama sekali,” protes Indah ketika Grace membuka pintu pagar.”Sorry, aku harus pamitan ke ibu dulu.” Grace duduk di antara tante Tini dan Indah. Sepanjang jalan Indah cerita betapa bagusnya gerejanya. ”Hiasan-nya dibeli mama dari Singapura. Bagus banget, deh. Kamu harus lihat model lampunya!”
Grace setengah melamun mende-ngarkan celoteh Indah. Dia memikirkan ibunya. Apakah dokter bisa menyembuhkan ibu? Dia tidak sadar ketika kakinya menginjak lantai gereja. Dia juga tidak peduli mereka duduk di bangku depan. Dia tersentak sebentar ketika Indah menyenggolnya untuk memperhatikan betapa indahnya hiasan mimbar. Akhirnya khotbah sang pendeta selesai juga, demikian juga puisi Natal yang dibawakan Indah dan atraksi lainnya. Sekarang saatnya pembagian kado untuk anak-anak Sekolah Minggu. Grace seharusnya tidak dapat karena dia tidak bersekolah minggu di situ, tetapi tante Tini berbaik hati dan membelikannya kado.
Dalam perjalanan pulang, Grace berterimakasih kepada tante Tini dan Indah untuk malam Natal yang meriah. Dia melompat keluar dari mobil dan melambaikan tangan pada Indah. ”Selamat Natal!” teriaknya.”Bu! Ibu!” seru Grace sambil membuka pagar, ”ibu sudah sembuh?” Ayah dan ibunya tidak di rumah. Grace disambut Mbak Umi, tetangga sebelah rumah mereka, yang juga guru sekolah minggunya. Mbak Umi memeluknya. “Mana ayah, Mbak?” tanya Grace keheranan.
“Ibumu sakit keras, Grace. Ayahmu membawa ibu ke rumah sakit di kota. Kamu di sini saja dengan Mbak Umi, ya.”Malam itu Grace gelisah. Dia tidak mengerti mengapa ayah tidak pulang juga. “Besok pasti ayah pulang dengan ibu,” kata gadis cilik itu dalam hatinya. Besok adalah hari Natal. Kami akan merayakan Natal bersama-sama. Paginya ayah sudah di rumah ketika Grace bangun. Ayah terlihat habis menangis. Grace memeluk ayahnya. “Ibu mana, Yah?” tanyanya. “Ibumu sudah merayakan Natal bersama malaikat,” jawab ayahnya menahan isak. Grace meluncur turun dari pangkuan ayahnya. Dia tidak mengerti kata-kata ayahnya.
Ibu Grace terlihat tidur nyenyak di dipan yang ditaruh di ruang tamu. Grace memegang tangan ibunya. Tangan itu kaku. Ibunya seperti tersenyum, tapi bukan padanya. “Bu,” Grace memanggil pelan. Ibunya diam saja. Grace jadi tidak mengerti. Ada apa dengan ibunya? Mengapa ayah bilang ibunya merayakan Natal dengan malaikat, padahal ibu ada di sini?
Rumahnya mulai ramai. Beberapa tamu berdatangan. Nampak tante Tini dan Indah juga. Para tamu menyalami Grace dan ayahnya. Mereka mengatakan ”turut berdukacita”. Grace tidak mengerti artinya. Grace mendatangi Mbak Umi yang sedang membantu ibu-ibu menyiapkan minuman. ”Mbak, ibu mengapa?”
Mbak Umi mengajak Grace ke kamar. Dia sangat mengenal Grace karena Grace adalah tetangganya. Walau baru berusia 6 tahun, Grace anak yang penurut dan bisa diajak berpikir. ”Kamu sudah punya adik, Grace,” kata Mbak Umi. ”Tadi malam ayah membawa ibu ke rumah sakit karena adikmu akan lahir. Tapi ibu tidak begitu sehat. Ibu sangat kesakitan, dia banyak mengeluarkan darah. Akhirnya Tuhan memanggil ibu karena Dia sangat menyayangi ibumu.”
”Mengapa Tuhan tidak menyembuhkan ibu?” “Saya tidak tahu. Tapi Tuhan menyembuhkan ibu dengan cara lain. Sekarang ibumu ada di surga bersama para malaikat. Yang di ruang tamu adalah badannya. Di surga ibu punya tubuh yang baru, yang diberikan oleh Tuhan.” Grace terdiam sebentar kemudian bertanya lagi, ”Adikku di mana, Mbak?”
”Adik masih di rumah sakit. Dokter bilang, dia perlu dirawat beberapa hari. Kalau adik sudah sehat, kita akan jemput dia.”Grace mengangguk. ”Sepertinya dia mengerti,” kata Mbak Umi dalam hati. Dia memperhatikan Grace keluar kamar dan duduk di samping ayahnya. Dengan penuh kehangatan Ayah Grace membelai rambut anaknya. Kehangatan dan pelukan si Ayah menghibur Grace. Dia mencoba membayangkan, ibunya yang sedang bernatal bersama malaikat-malaikat di surga.
EmoticonEmoticon